Konflik Kesetaraan Agama dan Gender
AGAMA
Pendahuluan
Seperti yang kita ketahui,
akhir-akhir ini banyak sekali peristiwa-peristiwa penyimpangan Agama di sekitar
kita. Salah satu contohnya seperti di Poso tahun (1998-2000) di Ambon. Namun
itu semua nyata terjadi, sebagai hasil dari upaya untuk menegakkan suatu
keadilan. Jika masyarakat menginginkan keadilan dan kesetaraan dalam bidang
tertentu, pasti ada peristiwa dimana terjadi penyelewengan kesetaraan tersebut.
Sebagai contoh, jika masih ada konflik seperti perselisihan antara agama
kristen dan muslim, hal itu adalah timbal balik dari upaya masyarakat untuk
menegakkan sila pertama Pancasila yang berbunyi : Ketuhanan YME. Dari sini
dapat dilihat bahwa untuk mencapai suatu kesetaraan tidaklah mudah, karena
terdapat perbedaan di setiap pihak, serta membutuhkan pengertian antar pihak
satu sama lain. Lantas, adakah penyebab yang pasti dan solusi untuk contoh
permasalahan seperti diatas? Untuk lebih mengetahuinya, mari kita kaji lebih
dalam mengenai penyebab terjadinya konflik agama.
Penyebab Konflik
Agama di Indonesia
A.
Perbedaan Doktrin dan Sikap Mental
Semua pihak umat beragama yang sedang
terlibat dalam bentrokan masing-masing menyadari bahwa justru perbedaan doktrin
itulah yang menjadi penyebab dari benturan itu.
Entah
sadar atau tidak, setiap pihak mempunyai gambaran tentang ajaran agamanya, membandingkan
dengan ajaran agama lawan, memberikan penilaian atas agama sendiri dan agama
lawannya. Dalam skala penilaian yang dibuat (subyektif) nilai tertinggi selalu
diberikan kepada agamanya sendiri dan agama sendiri selalu dijadikan kelompok
patokan, sedangkan lawan dinilai menurut patokan itu.
Di beberapa tempat terjadinya kerusuhan
kelompok masyarakat Islam dari aliran sunni atau santri. Bagi golongan sunni,
memandang Islam dalam keterkaitan dengan keanggotaan dalam umat, dengan
demikian Islam adalah juga hukum dan politik di samping agama. Islam sebagai
hubungan pribadi lebih dalam artian pemberlakuan hukum dan oleh sebab itu
hubungan pribadi itu tidak boleh mengurangi solidaritas umat, sebagai
masyarakat terbaik di hadapan Allah. Dan mereka masih berpikir tentang
pembentukan negara dan masyarakat Islam di Indonesia. Kelompok ini begitu
agresif, kurang toleran dan terkadang fanatik dan malah menganut garis keras.
Karena
itu, faktor perbedaan doktrin dan sikap mental dan kelompok masyarakat Islam
dan Kristen punya andil sebagai pemicu konflik.
B.
Perbedaan Suku dan Ras Pemeluk Agama
Tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan
ras dan agama memperlebar jurang permusuhan antar bangsa. Perbedaan suku dan
ras ditambah dengan perbedaan agama menjadi penyebab lebih kuat untuk
menimbulkan perpecahan antar kelompok dalam masyarakat.
Contoh di wilayah Indonesia, antara Suku
Aceh dan Suku Batak di Sumatera Utara. Suku Aceh yang beragama Islam dan Suku
Batak yang beragama Kristen; kedua suku itu hampir selalu hidup dalam
ketegangan, bahkan dalam konflik fisik (sering terjadi), yang merugikan
ketentraman dan keamanan.
Di beberapa tempat yang terjadi
kerusuhan seperti: Situbondo, Tasikmalaya, dan Rengasdengklok, massa yang
mengamuk adalah penduduk setempat dari Suku Madura di Jawa Timur, dan Suku
Sunda di Jawa Barat. Sedangkan yang menjadi korban keganasan massa adalah
kelompok pendatang yang umumnya dari Suku non Jawa dan dari Suku Tionghoa.
Jadi, nampaknya perbedaan suku dan ras disertai perbedaan agama ikut memicu
terjadinya konflik.
C.
Perbedaan Tingkat Kebudayaan
Agama sebagai bagian dari budaya bangsa
manusia. Kenyataan membuktikan perbedaan budaya berbagai bangsa di dunia tidak
sama. Secara sederhana dapat dibedakan dua kategori budaya dalam masyarakat,
yakni budaya tradisional dan budaya modern.
Tempat-tempat
terjadinya konflik antar kelompok masyarakat agama Islam - Kristen beberapa
waktu yang lalu, nampak perbedaan antara dua kelompok yang konflik itu.
Kelompok masyarakat setempat memiliki budaya yang sederhana atau tradisional:
sedangkan kaum pendatang memiliki budaya yang lebih maju atau modern. Karena
itu bentuk rumah gereja lebih berwajah budaya Barat yang mewah.
Perbedaan
budaya dalam kelompok masyarakat yang berbeda agama di suatu tempat atau daerah
ternyata sebagai faktor pendorong yang ikut mempengaruhi terciptanya konflik
antar kelompok agama di Indonesia.
D.
Masalah Mayoritas dengan Minoritas Golongan Agama
Fenomena konflik sosial mempunyai
aneka penyebab. Tetapi dalam masyarakat agama pluralitas penyebab terdekat
adalah masalah mayoritas dan minoritas golongan agama.
Di berbagai tempat terjadinya
konflik, massa yang mengamuk adalah beragama Islam sebagai kelompok mayoritas;
sedangkan kelompok yang ditekan dan mengalami kerugian fisik dan mental adalah
orang Kristen yang minoritas di Indonesia. Sehingga nampak kelompok Islam yang
mayoritas merasa berkuasa atas daerah yang didiami lebih dari kelompok
minoritas yakni orang Kristen. Karena itu, di beberapa tempat orang Kristen
sebagai kelompok minoritas sering mengalami kerugian fisik, seperti:
pengrusakan dan pembakaran gedung-gedung ibadat.
GENDER
Pendahuluan
Topik ini sudah tak asing lagi kita
dengar di berbagai saluran televisi, berita, koran, dan sebagainya. Kenyataanya,
kasus kesenjangan gender seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sering
kita jumpai di Indonesia. Padahal dalam Era R.A. Kartini, beliau telah
mengemansipasi kaum wanita Indonesia, agar wanita Indonesia dapat mengambil
tingkat kederajatan yang setara dengan kaum pria. Contohnya seperti presiden ke-5,
yakni Ibu Megawati Soekarno Putri. Namun, mengapa sekarang masih banyak
kesenjangan dalam hal gender di Indonesia?
Pengertian Gender
Untuk memahami konsep gender, harus
dibedakan antara kata gender dengan kata sex. Gender adalah perbedaan peran,
fungsi, dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil
konstruksi sosial dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman. Sementara
Sex adalah perbedaan jenis kelamin yang ditentukan secara biologis, yang secara
fisik melekat pada masing – masing jenis kelamin, laki – laki dan perempuan.
Perbedaan jenis kelamin merupakan kodrat atau ketentuan Tuhan, sehingga
sifatnya permanen dan universal.
Istilah gender diketengahkan oleh para ilmuwan
sosial untuk menjelaskan mana perbedaan perempuan dan laki – laki yang bersifat
bawaan sebagai ciptaan Tuhan dan mana yang merupakan tuntutan budaya yang
dikonstruksikan, dipelajari dan disosialisasikan.
Pembedaan itu sangat penting, karena
selama ini kita sering kali mencampur-adukkan ciri – ciri manusia yang bersifat
kodrati dan tidak berubah dengan ciri – ciri manusia yang bersifat non kodrat
(gender) yang sebenarnya bisa berubah – ubah atau diubah.
Diskriminasi Gender
Bentuk-bentuk ketidakadilan akibat
diskriminasi gender adalah sebagai berikut:
1. Marginalisasi wanita. Istilah ini
menggambarkan rendahnya status, akses dan pengguasaan seseorang terhadap sumber
daya ekonomi dan politik dalam pengambilan keputusan . berbagai pekerjaan yang
dianggap sebagai pekerjaan wanita, misalnya guru taman kanak-kanak atau
sekretaris, dinilai lebih rendah dibandingkan pekerjaan pria dan sering
berpengaruh terhadap perbedaan gaji antara kedua jenis pekerjaan tersebut.
2. Subordinasi. Subordinasi pada dasarnya
adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting dan
lebih utama dibandingkan jenis kelamin lainnya. Pandangan bahwa wanita
mempunyai kedudukan dan peran lebih rendah dibandingkan dengan pria telah
tercipta sejak dahulu. Berbagai tradisi, tafsir keagamaan, maupun aturan
birokrasi menempatkan wanita sebagai subordinasi kaum pria yang menyebabkan
keterbatasan ruang gerak wanita diberbagai kehidupan. Misalnya seorang istri
yang akan melanjutkan pendidikan harus meminta izin dari suaminya, sebaliknya
seorang suami yang akan melanjutkan pendidikan tidak perlu meminta izi dari
istrinya.
3. Pandangan stereotip. Pandangan stereotip
asdalah citra baku tentang individu atau kelompok yang tidak sesuai dengan
kenyataan empiris yang ada. Pelabelan negatif
(seterotip) secara umum melahirkan ketidakadilan gender. Salah satu
stereotip yang berkembang berdasarkan pengertian gender, yaitu jenis kelamin
wanita mengakibatkan terjadinya diskriminasidan berbagai ketidakadilan. Sebagai
contoh, pandangan terhadap wanita yang tugas dan fungsinya hanya melaksanakan
pekerjaan yang berkaitan dengan kerumahtanggaan. Stereotip ini tidak hanya
terjadi di dalam rumah tangga, tetapi juga ditempat kerja dan masyarakat,
bahkan tingkat pemerintah dan negara.
4. Kekerasan. Kekerasan berarti suatu
serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang.
Kekerasan fisik dapat berupa perko9saan, pemukulan dan penyikasaan. Kekerasan
non fisik, yaitu pelecehan seksual yang menyebabkan gangguan emosional. Pelaku
kekerasan mungkin saja individu di dalam rumah tangga, tempat umu, atau
dimasyarakat.
5. Beban kerja. Bentuk lain diskriminasi
atau ketidakadilan gender, yaotu beban kerja yang harus dilakukan oleh salah
satu jenis kelamin tertentu. Berbagai observasi menunjukkan bahwa hampir 90%
pekerjaan rumah tangga dikerjakan oleh wanita dan beberapa wanita mengerjakan
hal tersebut sambil bekerja mencari uang. Hal ini menyebabkan wanita harus
melakukan pekerjaan rumah sambil bekerja.
Akibat Diskriminasi
Gender
Berbagai bentuk diskriminasi
merupakan hambatan untuk tercapainya keadilan dan kesetaraan gender atau
kemitrasejajaran yang harmonis antara perempuan dan laki-laki, karena dapat
menimbulkan:
1. Konflik
2. Stres pada salah satu pihak
3. Relasi gender yang kurang harmonis
4. Diskriminasi Gender Menurunkan
Kesejahteraan dan Menghambat Pembangunan.
Cara Mengatasi
Diskriminasi Gender
Beberapa cara yang dapat dilakukan
untuk mengatasi diskriminasi gender adalah sebagai berikut.
1. Planning
Tujuan
utama dari segala kegiatan yang akan dilaksanakan adalah membagi peran manusia
dengan kemampuan pribadinya. Sasaran utama yang akan dicapai adalah terjadinya
perubahan sosial-budaya melalui lembaga/organisasi.
2. Organizing/Directing
Diupayakan
hilangnya pembagian tugas dan wewenang berdasarkan jenis kelamin. kotak
stereotip dibongkar melalui peningkatan keterampilan hubungan antarmanusia
dalam organisasi. Relasi pembagian kerja berwawasan gender (sadar gender).
Kesimpulan
Bagi saya di zaman yang serba
canggih dan modern ini, kita diharapkan untuk tidak meninggalkan ajaran agama
dan moral yang telah dipraktikkan selama oleh nenek moyang kita dahulu. Jika
terdapat golongan mayoritas dan minoritas, sebaiknya kita tetap menjaga
kerukunan dan saling menghormati perbedaan pendapat dan keyakinan, serta tidak
menganggap bahwa agama kita adalah yang paling benar (fanatik). Konflik yang bernuansa agama bukanlah karena agama
yang dianutnya itu mengajarkan untuk
konflik. Karena cara umat memahami ajaran agamanyalah yang menyebabkan
mereka menjadi termotivasi untuk melakukan konflik.
Untuk dibidang gender, diharapkan
dengan adanya pengetahuan serta pendidikan mengenai kesetaraan gender,
diharapkan kita (khususya pria) dapat menerima peran kaum wanita dalam upaya
untuk kesejahteraan dan pembangunan di Indonesia. Sehingga menciptakan
keharmonisan dan relasi yang sinergis antara kaum pria dan wanita.